Skip to main content

Sekam Padi Menjadi Pelapis Anti-Air Pada Masker Kain

[unsoed.ac.id, Kam, 02/09/21] Salah satu bentuk pencegahan penyebaran Covid-19 adalah dengan memakai masker. Jenis masker yang dijual masyarakat pun sangat beragam. Mulai dari masker medis hingga masker non-medis atau masker kain. Masker kain kini menjadi masker yang cukup sering digunakan oleh masyarakat. Selain bisa digunakan kembali setelah dicuci, masker kain juga dapat mengurangi limbah masker medis yang kini dapat menjadi sumber penyebaran baru virus/bakteri. Oleh sebab itu, masker kain sangat menjanjikan berbagai keuntungan jika digunakan oleh masyarakat. Sayangnya, masker kain ini memiliki keefektifan dalam menahan droplet (tetesan air) yang sangat kecil dibandingkan masker medis. Hal ini dikarenakan permukaan masker medis sengaja dirancang agar bersifat hidrofobik sehingga dapat menangkal tetesan air.

Mahasiswa Unsoed yang terdiri dari Dewi Nur Riskiana (Fisika), Mardiana Rimba Utami (Kimia), Rani Firsty Fitriani (Matematika), Fahriz Romdony (Fisika), dan M. Syifal Maulana (Kimia) menemukan lapisan anti-air untuk pelapis masker kain yang berasal dari sekam padi. Dimana sekam padi ini akan diubah menjadi nanosilika yang berguna sebagai pelapis kain.

Dewi Nur Riskiana selaku ketua Tim mengatakan bahwa Silika umumnya berasal dari bahan kimia TEOS (Tetraethyl orthosilicate), namun penggunaan TEOS nyatanya membawa dampak buruk bagi lingkungan dan harganya yang mahal. Oleh karena itu, perlu adanya bahan alternatif pengganti TEOS untuk menghasilkan silika. Beberapa penelitian telah dilakukan dalam menggali potensi sekam padi agar dapat menghasilkan silika. Abu sekam padi mengandung silika sebanyak 87%-97% dari berat keringnya. “Selain dari kandungannya, penelitian ini juga menitikberatkan pada peningkatan nilai dari sekam padi yang awalnya hanya menjadi limbah saja”, jelasnya.

Proses awal dilakukan pembakaran dengan mengubah sekam padi menjadi abu sekam padi. Proses selanjutnya dilakukan sintesis abu sekam padi menjadi nanosilika. Tahapan ini memerlukan perhatian lebih agar dapat menghasilkan silika berukuran nano. Proses sintesis dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan seperti NaOH, HCl, aquades, dan etanol. Setelah menjadi bubuk silika yang berwarna putih, tahap selanjutnya dilakukan preparasi nanosilika menjadi pelapis kain masker. Preparasi ini memerlukan suatu bahan kimia untuk dapat memodifikasi permukaan silika, yaitu HDTMS (Hexadecyltrimethoxysilane). HDTMS dapat mengubah gugus silanol yang terdapat pada nanosilika menjadi alkil silanol.

Perubahan ini diharapkan dapat mengubah tegangan permukaan yang rendah sehingga dapat bersifat anti-air (hidrofobik). Tahap terakhir dilakukan pelapisan pada kain masker. Masker kain yang digunakan dapat berasal dari berbagai jenis kain. Tahap ini dilakukan dengan cara pencelupan masker selama satu jam. Kain masker yang termodifikasi nanosilika siap pakai ditandai dengan tekstur kain sudah mengering. "Pembuatan masker kain yang termodifikasi nanosilika ini membutuhkan waktu selama 4 hari berturut-turut, juga tidak membutuhkan biaya yang terlalu mahal." tutur Dewi.

Lebih lanjut Dewi menjelaskan bahwa untuk menyakinkan bahwa masker kain yang telah termodifikasi ini layak digunakan, maka diperlukan pengujian pada masker kain. Kini pengujiannya hanya berfokus pada studi hidrofobisitas, yaitu menentukan sudut kontak dari masing-masing kain masker dengan ditetesin air. jika sudut yang dihasilkan kurang dari 90 ͦ maka kain tersebut bersifat hidrofilik, sedangkan jika sudut yang dihasilkan lebih dari 90 ͦ maka kain tersebut bersifat hidrofobik. Dari semua jenis masker kain yang termodifikasi ini menghasilkan sudut kontak lebih dari 90 derajat.

"Seluruh sampel masker kain yang termodifikasi akan menghasilkan sudut kontak lebih dari 90 derajat terhitung selama menit ke 0 sampai 15. Selama itu tidak ada perubahan sama sekali untuk sudut kontak. Namun untuk sampel masker kain yang tidak termodifikasi ini sudut kontaknya kurang dari 90 derajat" jelas Dewi.

#unsoedmajuterus